Orang berkata, “Jangan melawan
arus, nanti arus itu akan menyeret kita”. “ Semakin kita melawan arus maka kita
akan semakin terseret oleh arus itu dan
membuat kita tidak berdaya”. Dan ungkapan itu bukan sebatas ungkapan semata
tetapi kini telah menjadi sebuah filosofi yang sepertinya menghipnotis semua
orang ketika berlomba untuk menggapai tujuan hidup. Sementara harapan yang hendak diraih itupun menjadi
incaran orang lain. Dalam kondisi itu, “apa boleh buat, buat apa yang boleh”.
Begitu kita mendengar argumentasi orang dalam rangka supaya tetap bertahan di
tengah situasi yang semakin sulit.
Dengan kata lain, kesulitan yang
dihadapi sering mengantar orang untuk berbuat apa saja demi keluar dari
kesulitan tersebut. Tidak peduli apakah sikap dan tindakan yang diambil
tersebut masih bersesuaian dengan karakter, keluhuran hati yang mulia dan identitas yang dimiliki atau
justru bertentangan.
Berbicara soal kesulitan dan
bagaimana bertahan hidup ditengah
kesulitan itu sambil mempertahankan karakter dan jati dirinya, orang Kristen di
abad-abad pertama telah mengalaminya. Penglihatan Rasul Yohanes dalam kitab
Wahyu mengetengahkan kepada kita bagaimana kehidupan yang dialami oleh
orang-orang Kristen itu. Mereka hadir ditengah dunia yang kejam dan beringas.
Ketika gereja mulai bertumbuh, ia hadir ditengah situasi yang berat dan
menyulitkan perkembangannya. Keadaan orang-orang percaya itu disimbolkan
seperti penderitaan perempuan yang mengandung dan melahirkan (Wahyu 12:2,
13-18). Suatu gambaran penderitaan yang sangat berat. Proses melahirkan selalu
digambarkan orang sebagai peristiwa dimana antara kehidupan dan kematian hadir
berdampingan. Pendeknya antara hidup dan mati.
Seperti itulah yang dialami oleh
orang-orang Kristen di abad pertama. Tekanan dan penindasan bahkan penganiayaan
dan pembunuhan menjadi warna hidup mereka. Mengapa hal itu terjadi?. Penguasa
Romawi dalam hal ini Kaisar Roma yang disimbolkan sebagai binatang yang keluar
dari dalam bumi telah menetapkan dirinya sebagai dewa dan Tuhan. Semua orang
harus menyembah dia. Mereka yang tidak menyembah dibunuh (Ayat 15). Bahkan
untuk meyakinkan semua orang bahwa ia berkuasa dan tidak ada yang dapat
menandinginya, ada banyak tanda yang dasyat yang ditunjukannya. Semua orang
harus menyembah dia tidak ada yang terkecuali termasuk orang Kristen. Dan kemudian
mereka yang menyembah Kaisar di beri tanda pada tangan kanannya atau pada
dahinya. Tanda dalam mana mereka terhisab dalam komunitas penyembah binatang
itu (Kaisar Roma). Mereka yang tidak ditandai, itu berarti termasuk dalam
kelompok yang tidak mengakui keilahian dan kekuasaan binatang itu.
Kelompok inilah orang percaya
(Orang Kristen). Komitmen mereka bahwa hanya Yesus Kristuslah yang pantas dan
layak disembah karena Dialah Tuhan. Itulah sebabnya mereka tidak menyembah
Kaisar dan tidak menyebutnya sebagai Tuhan. Konsekuensi dari sikap dan prinsip
iman inilah orang Kristen mengalami penganiayaan yang hebat dan sangat
mengerikan. Sejarah Gereja mencatat
bagaimana orang-orang Kristen yang tetap setia mempertahankan imannya harus
dibakar hidup-hidup, ada yang diadu dengan binatang buas di gelanggang olahraga
dan menjadi tontonan dan lain sebagainya.
Bagian Alkitab yang menjadi pokok
perenungan kita saat ini hendak menyadarkan kita kembali bahwa sesungguhnya
perjalanan hidup sebagai orang percaya adalah suatu perjalanan yang sarat
dengan berbagai tantangan dan pergumulan. Suatu perjalanan yang menuntut
ketangguhan iman ditengah kuatnya godaan dan tawaran dunia serta hebatnya
ancaman untuk meninggalkan kepercayaan dan komitmen kepada Yesus Kristus.
Bagi kita sekarang, mungkin kita
tidak mengalami peristiwa yang persis sama dengan apa yang dialami oleh gereja
yang masih muda di zaman yang dilihat oleh Rasul Yohanes. Dimana “Binatang”
yang menjadi symbol dari penindasan, penganiayaan dan pembunuhan merajalela.
Akan tetapi sadar ataupun tidak sadar sesungguhnya kitapun berada ditengah
situasi dimana “binatang” yang merupakan personifikasi dari Si Jahat itu kini
hadir dengan berbagai bentuk yang berbeda dan menantang komitmen kita sebagai
orang yang percaya kepada Yesus Kristus.
Dia bisa hadir dalam sebuah kursi
yang terus diperebutkan, dia bisa hadir dalam konteks pekerjaan dan karir yang
dalam proses perebutan itu nilai-nilai kristiani menjadi daftar terakhir criteria
sikap dan tindakan demi sebuah tujuan. Ketika ingin mempertahankan kuasa,
karir, kemapanan materi dan sebagainya, ia bisa menjelma dalam wibawa dan
kekuatan yang menindas. Ketika untuk mencapai suatu tujuan, orang terpaksa
harus menyingkirkan orang lain. Tidak peduli apakah cara yang dilakukan itu
baik atau tidak. Komitmen iman menjadi hal terakhir setelah tujuan yang utama.
Demi terbebas dari berbagai
persoalan dan permasalahan kehidupan, orang memilih jalan keluarnya sendiri
tanpa mendengarkan kata Tuhan. Bahkan tidak jarang perkataan dan Instruksi “Atasan”
atau “Bos” itu lebih penting demi karir dari pada pesan Firman. Dan demi demi
yang lain.
Disinilah letak tantangan yang
besar bagi orang percaya saat ini. Tawaran dan godaan dunia seperti gelombang
besar yang siap menggulung dan ibarat arus yang kuat dan berputar yang siap mengantar
pada pusaran air hingga ke dasar yang terdalam. Pada saat yang sama identitas
dan jati diri kekristenan mendapat pertanyaan yang besar.
Dan ketika orang berkata, “Jangan
melawan arus”, justru Firman Tuhan
berkata, “Yang penting disini ialah hikmat: barangsiapa yang bijaksana…” (ayat
18). Dalam konteks ini, justru orang percaya harus berani melawan arus. Karena
di zaman itu Arus itu adalah keharusan menyembah sang binatang; Arus itu adalah diberi tanda pada tangan kanan
dan dahi supaya dihisabkan kepada kelompok yang bisa lolos dari ancaman
pembunuhan. Dalam hal ini, orang Kristen harus menolaknya.
Dengan perkataan lain, orang lain
bisa saja hidup dengan sikap dan karakter “Mengikuti Arus” tetapi orang percaya
harus tidak seperti itu. Orang Percaya harus tampil beda. Tampil dengan
tampilan yang tidak menjadi sama dengan apa yang ditawarkan dunia. Rasul Paulus
berkata dalam Roma 12:2 “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi
berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah
kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna”.
Firman Tuhan mengajak kita untuk
menjadi orang-orang percaya yang waspada terhadap tawaran-tawaran iblis yang
sangat menarik dan pada saat yang sama kesetiaan kepada Yesus Kristus sumber
kehidupan harus tetap dipertahankan dalam berbagai segi kehidupan kita. Mungkin
kita akan lebih banyak mengalami berbagai pergumulan, kesulitan dan berbagai
harapan yang sepertinya belum tercapai oleh karena komitmen dan kesetiaan kita
kepada Tuhan. Tetapi keyakinan kita dikuatkan ketika menghadapi berbagai
tekanan hidup dan pergumulan, ditengah tawaran dunia yang menarik dan sangat
memikat, seperti yang dikatakan dalam
Yakobus 1:12 “Berbahagialah orang yang bertahan dalam pencobaan, sebab apabila
ia sudah tahan uji, ia akan menerima mahkota kehidupan yang dijanjikan Allah
kepada barangsiapa yang mengasihi Dia”.
Kita diingatkan bahwa kesetiaan
itu harus sampai pada akhir hidup kita. Pdt Eka Darmaputera mengilustrasikan
kesetiaan ditengah tantangan dan tawaran dunia itu begini, “Orang Kristen ibaratnya berada dalam
sebuah pertandingan. Dalam pertandingan di babak-babak penyisihan, kita banyak
mengalami kemenangan bahkan kemenangan telak. Tetapi ketika masuk pada babak Big Match yang adalah pertarungan hidup
mati, kita kalah. Dengan demikian sia-sialah usaha kita sejak awal bila pada
akhirnya toh kita dikalahkan”.
Sebagai orang percaya kita terus
diingatkan bahwa sesulit apapun hidup ini dan semanis apapun tawaran dunia yang
pada akhirnya hendak memudarkan ketaatan kita kepada Tuhan biarlah kita kuat
dan tetap setia kepada Tuhan. Kiranya Tuhan terus memampukan kita. Amin.
ok... :|
BalasHapus