Bagian Alkitab ini mengetengahkan bagaimana perjalanan umat
Israel ketika mereka keluar dari tanah Mesir, tanah perbudakan. Suatu
perjalanan yang mungkin tidak terbayangkan sebelumnya. Bagi mereka mungkin
perjalanan menuju Kanaan adalah perjalanan yang menyenangkan. Perjalanan dimana
keadaan mereka tidak lagi berada dibawah kuasa tentara Mesir, mereka bisa
mengatur hidup mereka sendiri. Mungkin bagi mereka perjalanan ke Tanah
perjanjian tentunya tidak akan membuat mereka bosan dan pastinya perjalanan itu
adalah perjalanan yang menjanjikan kemudahan dimana keinginan mereka bisa
terpenuhi. Tetapi ternyata yang mereka alami tidak seperti yang mereka harapkan
dan bayangkan.
Dikisahkan, orang Israel mulai bersungut-sungut dan
menggerutu. Mereka mulai mengeluh dengan keadaan yang mereka hadapi.
Sungut-sungut bukan karena jarak tempuh dari Mesir ke Kanaan yang sebenarnya
tidak terlalu jauh. Menggerutu bukan disebabkan oleh karena kelelahan ditengah
perjalanan. Tetapi mereka bersungut-sungut dan menggerutu soal perut mereka.
Bukan perut yang lapar melainkan karena kerakusan dan keserakahan untuk makan
daging. Rupanya orang Israel terhasul oleh orang-orang bajingan, orang-orang
yang ikut serta dengan orang Israel dalam perjalanan ini.
Orang Israel sangat bernafsu untuk makan daging. Lapar daging
membuat mereka bersungut-sungut. Dan mereka sepertinya menyesal dengan
perjalanan yang dituntun Tuhan ini. Bagi mereka, lebih baik mereka masih
tinggal di Mesir karena bisa makan makanan yang sesuai dengan keinginan mereka.
Makanan Manna yang diberikan Tuhan bagi mereka selama dalam
pengembaraan ini sepertinya tidak memuaskan mereka. Bahkan ketidakpuasan ini
membuat mereka menangis. Ini menunjukkan bagaimana kuatnya keinginan bangsa
Israel untuk menikmati makanan yang melebihi Manna. Makanan tidak dilihat
sebagai kebutuhan pokok untuk menopang tubuh yang lelah, lemah dan menunjang
untuk aktivitas manusia tetapi ternyata hanya dilihat sebagai sejauh mana bahan
yang dimakan itu memenuhi selera lidah.
Disini kita melihat bahwa ternyata kerakusan dan keserakahan
dapat menyeret dan mengantar umat Tuhan untuk melupakan Tuhan, bahkan lebih
fatal lagi mempersalahkan Tuhan yang telah membawa mereka keluar dari tanah
Mesir. Mencermati keadaan ini Musa yang adalah pemimpin umat saat itu menjadi
stress dan tak berdaya. Dalam ayat 11-15 kita mendapati bagaimana Musa mengira
bahwa ia ditinggalkan Tuhan dalam menata dan mengatur umat Tuhan ini. Musa
merasa tidak mampu lagi bahkan ia berpikir bahwa Tuhan memberikan beban yang
sangat berat baginya. Apalagi kini mereka menuntut sesuatu yang sepertinya
sulit untuk diberikan.
Kemudian Tuhan menyuruh Musa untuk mengumpulkan 70 orang tua-tua
Israel yang nantinya mendampingi dan membantu Musa mengatur bangsa ini.
Pengangkatan 70 orang ini dimaksudkan Tuhan agar Musa tidak bekerja sendirian
melainkan bersama dengan orang-orang ini untuk dapat memimpin orang Israel. Dan
akhirnya Tuhan mendengar keluhan dan gerutu bangsa ini sekalipun keluhan dan
gerutu ini sebenarnya merupakan dosa dan kekejian di mata Tuhan. Tuhan menjawab
mereka. Tetapi perlu diingat bahwa jawaban Tuhan atas keinginan mereka
sesungguhnya adalah hukuman Tuhan juga atas mereka.
Kepada Musa Tuhan berjanji akan memberikan bangsa ini makan
daging yang bukan hanya satu hari atau lima atau sepuluh atau duapuluh hari
saja tetapi sebulan penuh mereka akan makan daging sampai-sampai makanan itu
keluar dari hidung mereka dan sampai mereka muak. Itulah hukuman Tuhan bagi
bangsa ini. Dan yang menarik pula dari kisah ini ialah manakala Tuhan berjanji
akan memberikan makanan daging bagi bangsa ini, Musa seperti ragu dengan janji
ini. Bagi Musa bagaimana mungkin bangsa yang banyak ini dapat memperoleh daging
untuk di makan. Mungkin Musa mulai menghitung keadaan bangsa ini. Ada 600.000
orang pejalan kaki (ay. 21), mungkin belum yang naik kuda atau kereta, belum lagi
anak-anak. Bila orang sebanyak itu makan tiga kali dalam sehari apakah cukup?. Berapa
ekor lembu sapi dan kambing domba yang diperlukan bagi mereka?. Bagi Musa
mungkin ini hal yang tidak masuk akal. Tetapi apa jawaban Tuhan? Dalam ayat 23
Tuhan menjawab Musa “Masakan kuasa Tuhan akan kurang untuk melakukan itu?”.
Saya membayangkan dialog yang terjadi antara Musa dan Tuhan saat
itu. Ketika Musa bertanya dengan penuh keraguan kepada Tuhan, mungkin Tuhan
berkata, “Wah,…Musa!?, masakan engkau tidak yakin dengan kuasaKu?”.. Dan mungkin
saat mendengar itu, wajah Musa langsung merah padam dan tertunduk malu kemudian
berlalu dari hadapan Tuhan.
Dari bagian Alkitab ini, Firman Tuhan mengajak dan mengingatkan
kita tentang beberapa hal,
Pertama, Perjalanan kehidupan orang percaya
adalah perjalanan yang tidak pernah sepi dari berbagai pergumulan dan tantangan
kehidupan. Tantangan tersebut yang menantang keberimanan kita bukan saja hanya
datang dari luar diri dan hidup kita, tetapi juga ternyata tantangan yang lebih
besar justru datang dari diri kita sendiri.
Ketika kesabaran dan ketabahan menggapai harapan dan
cita-cita, tergantikan dengan kerakusan dan keserakahan maka disitulah awal
kejatuhan kita. Ketika keinginan perut menguasai hati kita, maka biasanya nalar
dan akal sehat tidak lagi berfungsi sebagaimana mestinya. Yang lebih fatal lagi
adalah tidak jarang keinginan perut yang mengantar pada keserakahan akhirnya
mendepak iman. Kita menggerutu dan mengeluh dan tidak mensyukuri pemberian
Tuhan dalam hidup kita. Oleh karena keserakahan dan kerakusan, kita bisa saja
lupa diri, lupa sesama bahkan lupa Tuhan sebagai pengatur dan pemberi hidup
ini. Kita lupa bahwa kalaupun kita bisa hidup dan bisa makan sampai hari ini,
itu semua karena pekerjaan Tuhan. Firman Tuhan mengingatkan kita untuk
bersyukur dengan setiap berkat yang diberikan Tuhan, entah menurut kita itu
kecil ataupun besar. Manakala pemberian Tuhan dalam hidup kita dinilai dengan
rasa syukur maka tidak akan terlihat berkat Tuhan itu besar atau kecil.
Kedua, Firman Tuhan mengingatkan kita bahwa
ternyata kepemimpinan dalam komunitas orang percaya bukanlah kepemimpinan yang
terpusat pada satu orang. Melainkan Tuhan memakai semua orang dengan talenta
dan karunia yang ada untuk saling melengkapi satu dengan yang lain. Pengangkatan
70 orang tua-tua Israel yang membantu Musa menata kehidupan umat Tuhan
menunjukkan hal itu. Disini kita dapati bahwa kehidupan dalam kebersamaan adalah
warna hidup orang percaya.
Ketiga, Kita diingatkan bahwa manakala kita
menjalani hidup ini dalam jerih dan juang kita, sekalipun mungkin kita harus
berjumpa dengan berbagai tantangan dan pergumulan, pengalaman Musa yang
memimpin bangsa Israel dalam koteks bacaan kita ternyata Tuhan tidak pernah
menutup mata terhadap kita. Dia terus memperhatikan kita dan mengetahui apa
yang kita butuhkan (Bnd Lukas 12:22-34). Dan Dia sangat mengerti dengan
kemampuan dan ketidakmampuan kita. Kita dikuatkan untuk jangan sampai meragukan
kuasa Tuhan. Kuasa Tuhan tidak kurang untuk menjawab kebutuhan kita. Tentunya
kita tidak mau, Tuhan berkata kepada kita seperti ini, “Wah,…Rivay!?, masakan
engkau tidak yakin dengan kuasaKu?”..
Kiranya Tuhan menguatkan dan terus memampukan kita menjalani
hidup sebagai orang percaya. Amin.