Kalau kita mau jujur, mana yang lebih kuat tarikannya dalam
diri dan hidup kita, pergi santai dengan teman-teman ataukah datang dalam persekutuan-persekutuan yang beribadah?
Realita menyaksikan kepada kita bahwa ternyata tawaran untuk bersantai atau dirumah kongkow-kongkow lebih enak dan mengasyikan daripada datang
beribadah.
Jujur, mana yang lebih enak, duduk berjam-jam didepan computer
dengan Face Book atau duduk berjam-jam beribadah dan mendengar Firman Tuhan. Pengalaman menyaksikan, orang cenderung lebih memilih opsi yang pertama daripada opsi yang kedua.
Ini menandakan bahwa kecenderungan untuk memuaskan keinginan
daging lebih dominan dan lebih menguasai diri kita dan hidup kita. Dengan kata
lain, kita lebih memikirkan tentang kehidupan secara jasmaniah dengan segala
keinginan-keinginannya. Mengapa demikian? Paulus menyebutnya, karena dosa
sepertinya lebih menguasai diri kita.
Tadi dikatakan, “Kalau kita mau jujur”. Dalam bagian Alkitab
kita saat ini, Paulus jujur dalam hal ini. Ada pergumulan batin yang selama ini
terjadi dalam hidupnya sebelum mengenal Kristus. Hukum Taurat yang adalah
panduan untuk hidup, ternyata ia tidak dapat memberlakukan sepenuhnya. Ketika
ia mau berbuat apa yang baik, justru yang terjadi adalah keinginan untuk melakukan
yang tidak baik itulah yang ia lakukan. Sebenarnya yang ia kehendaki adalah
berbuat apa yang baik tetapi yang terjadi adalah apa yang ia tidak kehendaki,
itu yang ia lakukan yakni yang jahat (Roma 8:15, 19,20). Mengapa? ..Karena dosa
yang menguasainya. Pengakuan Paulus ini sangat jujur dan terbuka. Bagaimana dengan
kita?
Bagi Paulus memberlakukan Hukum Taurat sepenuhnya adalah hal
yang mustahil manakala yang dominan dalam hidup ini adalah berpikir dalam
kedagingan. Apakah Hukum Taurat itu tidak baik dan dosa? Tidak. Dalam Roma
7:12, Paulus berkata, “Jadi hukum Taurat adalah kudus, dan perintah itu juga
adalah kudus, benar dan baik”. Tetapi manusia yang dikuasai oleh dosalah yang
tidak mampu melakukannya. Manusia lebih cenderung berpikir untuk kepuasan
jasmani dan keinginan-keinginan daging sehingga untuk melakukan hal yang baik
seringkali terhambat dan menjadi sulit untuk melakukannya.
Dengan kata lain, oleh karena kita lebih cenderung lebih
memikirkan dan melakukan hal yang jahat maka keinginan untuk berbuat apa yang
baik menjadi terhalang. Itulah realitas
manusia. Tidak terkecuali orang yang menyebut dirinya sebagai orang percaya dan
pengikut Kristus. Kita lebih memilih apa yang ditawarkan dan diinginkan oleh
kedagingan kita dari pada mau hidup dalam kehendak dan keinginan Tuhan.
Ciri-ciri kekeristenan kita sering menjadi pudar oleh karena kita lebih memilih
memuaskan keinginan daging. Selalu berpikir dan berorientasi pada hal
jasmaniah.
Tetapi yang lebih ironis lagi adalah manakala dalam kehidupan
orang percaya ketika ia bersalah dan berdosa, selalu berupaya untuk membenarkan diri. Untuk hal itu orang kerap
kali mencari dalih-dalih untuk pembenaran atas dosa dan kesalahan yang
dilakukan.
Ada sebuah cerita, seorang pendeta datang berkunjung di rumah
seorang ibu lansia. Setelah bercakap-cakap, kemudian pendeta meminta kesediaan
ibu itu untuk didoakan. Dia bagian akhir doa, pendeta itu berdoa, “Ya Tuhan
ampunilah kami, ampunilah dosa ibu kekasih ini dalam nama Tuhan Yesus. Amin”.
Tiba-tiba, ibu lansia itu langsung protes kepada pendeta. “Pendeta,
hari ini saya hanya ada dirumah terus sampai pendeta datang. Saya hanya
bersih-bersih rumah sepanjang hari ini. Saya belum bertemu Satu orangpun disepanjang
hari ini. Bagaimana mungkin hari ini saya berdosa . Mengapa pendeta berdoa
ampunilah dosa saya”. “Saya belum
melakukan dosa disepanjang hari ini”.
Apakah perotes ibu lansia ini benar?. Dia belum bertemu satu
orangpun. Dosa apa yang ia perbuat?.
Pendeta itu menjawab, “Justru karena ibu tidak keluar sepanjang
hari inilah, ibu berdosa. Mengapa? Karena di luar rumah sebenarnya ada banyak
ibu-ibu yang sementara bergumul dan ibu bisa saja membantu mereka bahkan pergi
menguatkan dan mendoakan mereka. Dan masih banyak lagi yang ibu bisa lakukan
seandainya ibu tidak hanya dirumah saja”.
Sebagai orang percaya, kita sering berpikr tidak melakukan apa-apa
tentu tidak berdosa. Ternyata, tidak melakukan apa-apapun ternyata kita sudah berdosa.
Dalam Roma 8:12, Paulus menyebutnya itu adalah HUTANG.
Ini pula yang kerap kali kita lakukan dengan dalih yang
seperti ini misalnya. “Saya tidak rajin beribadah, Toh saya tidak mencuri, toh
saya tidak berbuat dosa dan saya tidak mendatangkan dosa terhadap orang lain”.
Adalah lebih bijaksana kita datang kepada Tuhan dengan penuh
kerendahan dan sadar diri kemudian mengaku dosa kita dihadapan Tuhan dari pada
berupaya mencari dalih untuk membenarkan diri padahal sebenarnya sudah
jelas-jelas salah dan berdosa.
Menganggap diri benar karena melakukan hukum Taurat membuat
manusia berpikir untuk dirinya sendiri. Manusia hanya berpikir bagaimana ia
dapat melakukan hukum Taurat dengan sempurna sehingga dalam keadaan itu, itu
berarti ia tidak lagi membutuhkan Tuhan dalam hidupnya. Bagi orang percaya
berarti Ia tidak membutuhkan lagi Kristus dalam hidupnya. Tokh, saya dapat
hidup dengan melakukan hukum Taurat.
Padahal, iman yang dewasa adalah iman yang menyadari siapa
dia dihadapan Allah dan oleh karena itu dia merasa bergantung sepenuhnya kepada
Allah. Sebaliknya orang yang merasa diri benar, ia tidak lagi membutuhkan Tuhan
dalam hidupnya.
Paulus menyadari akan hal itu sehingga baginya menganggap
diri benar karena hukum Taurat atau karena melakukan hukum Taurat supaya ada
pembenaran adalah hal yang sia-sia. Oleh karena itu bagi Paulus sesungguhnya
kita tidak dapat melakukan semua itu, tetapi kita bersyukur bahwa hanya karena
Kristus Yesus lah yang membuat kita dapat melanjutkan hidup ini. Karena Yesus
Kristuslah yang telah mengalahkan maut dan dosa dan Dengan Dia Kehidupan baru
boleh dimiliki oleh orang percaya. Itu
berarti, hanya dengan hidup dalam Roh
Kristuslah maka kita dapat melakukan apa yang baik dan cenderung mengalahkan
keinginan-keinginan yang jahat. Oleh karena itu, ditengah ketegangan dan
konflik dalam mana keinginan daging seringkali lebih kuat dalam diri kita,
Paulus mengajak jemaat di Roma untuk hidup dalam roh. Hidup dalam roh siapa?
Hidup dalam Roh Kristus Itulah yang diuraikan rasul Paulus dalam Roma pasal 8.
Hidup dalam Roh Kristus adalah hidup dalam terang dan
petunjuk Kristus. Hidup dalam Roh adalah hidup yang mengarahkan pikiran-pikiran
manusia kita kepada Dia Yesus Kristus Anak Allah. Hidup oleh Roh adalah hidup
yang diperdamaikan dan berdamai dengan Allah. Dengan kata lain, hidup dalam Roh
adalah hidup yang menanggalkan pikiran-pikiran untuk kepentingan jasmaniah dan berubah
pada orientasi hidup dalam Kristus Yesus. (Pasal 8:5)
Kita semua diajak untuk hidup dalam Roh. Itu berarti hidup yang
menempatkan Kristus yang memerintah
dalam hidup kita. Artinya apa? Bila kita menempatkan Kristus yang memerintah
dalam hidup kita itu berarti kita harus tunduk dan menaklukan diri dan hidup
kita, di dalam Kristus. Dengan demikian kecenderungan yang akan terjadi dalam
hidup kita menjalani hidup sebagai orang percaya adalah kecenderungan dalam
roh. Hidup dalam roh berarti mematikan atau menanggalkan pikiran-pikiran yang
orientasi hidup kita hanya untuk yang sifatnya jasmani semata (Roma 8:13).
Kalau dalam awal khotbah tadi dikatakan, mana yang lebih kuat
tarikannya, berpikir untuk kepentingan dan kesenangan daging atau mengarahkan
pikiran dan orientasi hidup kepada Tuhan? Kenyataan yang sering terjadi dalam
hidup kita, itulah jawabannya.
Maka Firman Tuhan hari ini, mengingatkan dan mengajak kita
untuk menjalani kehidupan ini dengan berorientasi dan berpikir dalam roh
Kristus. Sepanjang kita menempatkan hidup ini dipimpin dan dituntun oleh Roh
maka cara memandang hidup kita sebagai orang percaya akan menjadi berbeda. Kita
akan dapat membedakan Mana yang lebih utama dalam hidup ini, dan mana yang
sifatnya sementara dalam hidup ini. Hidup dalam Roh Kristus itu pula yang akan
terus menyadarkan kita, siapa sesungguhnya kita dihadapan Tuhan sehingga ketika
kita menyadarinya, maka kita akan bergantung sepenuhnya kepada Dia. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar